Minggu, 31 Desember 2017

2018 Tahun Politik



Indonesia. Tahun 2017 adalah tahun para buzzer berpesta pora menyebar hoax di media-media sosial. Pro dan kontra pilkada DKI yang dimenangkan Anies -Sandi, masih belum bisa diterima oleh para pendukung Ahok - Jarot. Isu etnis dan agama masih menjadi buah bibir yang manis untuk ditulis sebagai status sampai di penghujung tahun.

Indonesia. Tahun 2018 boleh jadi akan melanjutkan persoalan-persoalan beda kepala ini. Betapa tidak? Tahun ini ada pilkada serentak di tingkat kabupaten/kota dan gubernur, hampir di seluruh tanah air. Apalagi tahun 2019, akan dilanjut dengan pemilihan legislatif dan pilpres.

Karena hoax itu bukan budaya, melainkan sikap dengki yang dimiliki manusia, maka kita berharap tahun 2018 adalah tahun politik yang berbudaya; menjunjung tinggi sikap demokratis, jujur dan bersih.

Semoga juga percetakan ekonomi kelas bawah bisa menikmati pesta demokrasi ini dengan memperoleh sablonan benner, spanduk, poster dan kaos calon dibayar tunai, tidak dibayar dengan janji-janji.

Jumat, 01 Desember 2017

Resensi Buku : Al Qur'an Berwajah Puisi bukti Keteladanan H.B. Jassin

Judul buku, Kontroversi Al Qur'an Berwajah Puisi
Penyusun, H.B. Jassin
Penerbit, Pustaka Utama Grafiti Jakarta : 1995


Seandainya keinginan H.B. Jassin menulis Al Qur'an Berwajah Puisi itu terjadi pada situasi sekarang alias jaman now, mungkin para penulis sosial media yang biasa bertengkar akan gempar. Mula-mula akan muncul status-status yang mendukung, sekaligus yang menolak atau merasa keberatan atas gagasan itu. Kemudian, kurang dari seminggu, pro dan kontra itu akan dibumbui berita-berita hoax. Selanjutnya, status-status sudah tidak fokus lagi pada permasalahan, tetapi yang terjadi adalah saling menghujat, saling membully antar golongan yang secara politis berbeda pandangan, atau bisa jadi karena berada pilihan.

Jadi beruntung, gagasan sang "Paus Sastra" yang kontroversial itu dilontarkan pada saat dimana orang-orang yang bisa berkomentar hanyalah para wartawan, dan orang-orang yang biasa menulis di surat kabar, sehingga kualitas tulisan dan kepenulisannya tidak perlu diragukan. D. Sirojudin A.R., M. Quraish Shihab, Prof. A. Hasjmy, J. A. Dungga, dan beberapa penulis terkenal lainnya turut meramaikan polemik yang berlangsung lebih dari satu tahun lamanya. Sampai pada pemikiran, Ia harus menerbitkan buku "Kontroversi Al Qur'an Berwajah Puisi"

Buku ini merupakan kumpulan tulisan berupa hasil wawancara dengan wartawan,  berita dan sejumlah artikel yang dimuat di pelbagai media cetak Jakarta dan daerah, serta surat-surat yang berkenaan dengan gagasan itu. H.B. Jassin merasa perlu menerbitkan buku ini untuk menjernihkan silang pendapat yang terus bergulir, setelah keluarnya surat penolakan dari MUI dan Departemen Agama atas keinginannya menerbitkan "Al Qur'an Berwajah Puisi". Dan dengan terbitnya buku ini, diharapkan orang lain pun dapat bertambah wawasannya.

Setelah membaca buku ini, di samping mengasyikan karena bahasanya, bahasa media cetak yang mudah dipahami, banyak hal yang bisa diteladani dari sang kritikus sastra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia :

Pertama, di usianya yang sudah senja, Jassin masih bersemangat untuk menulis buku. Pengalaman spiritual dan kesadarannya bahwa semua manusia akan kembali kepada Sang Penciptanya, ia ingin berbuat yang terbaik dengan memuliakan Al Qur'an. Berangkat dari pemikiran bahwa, Al Qur'an merupakan bacaan yang mulia, sangat puitis, indah, dan mempesona, Jassin ingin membuat tampilan baru, tentang wajah penulisan Al Qur'an. Di negara manapun, bahkan di Arab Saudi, belum ada penulisan Al Qur'an Berwajah Puisi. Untuk penulisanya, ia serahkan kepada ahlinya, D. Sirajuddin A.R. yang waktu itu sebagai Dosen Kaligrafi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Pula mendapat dukungan dari Gus Dur, B.J. Habibi, serta para pakar lainnya.

Kedua, meskipun gagasan itu ditolak oleh MUI dan Departemen Agama dengan alasan, penulisan itu tidak sesuai dengan Mushaf Al Imam yang dianggap standar dunia, serta dianggap lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya, dan dikhawatirkan akan muncul gejolak di masyarakat, Jassin tetap akan menyelesaikan buku yang ditulisnya sampai 30 juz. Ia pun akan menerbitkannya dan dilounching pada saat ulang tahunnya yang ke 76. Ia siap  dipenjara untuk mempertahankan keyakinan akan kebenarannya  itu. Buku itu pun, menurutnya ditulis berdasarkan Mushaf Usmani, penulisan Al Qur'an yang beredar dan digunakan di Indonesia.


Ketiga, yang patut diteladani adalah ketelatenan dan sikap kreatifnya. Sebagai dokumentator, H. B. Jassin tak perlu diragukan. Antologi puisi angkatan '45 dan '66, adalah dua contoh ketelatenan yang luar biasa. H.B. Jassin sadar, apabila berita-berita, artikel-artikel, dan surat-surat yang berkenaan dengan penulisan Al Qur'an Berwajah Puisi di pelbagai media cetak ini tidak didokumentasi, maka pengetahuan pembaca  hanya akan sepenggal-sepenggal. Kekhawatirannya akan saling menyalahkan. Dengan terbitnya buku "Kontroversi Al Qur'an Berwajah Puisi" ini, pembaca akan mengetahui latar belakang gagasannya, bagaimana pula sikap MUI dan Departemen Agama yang sebenarnya, kemudian alasan-alasan apa seseorang setuju atau keberatan-keberatan dan lain sebagainya.


Menurut pandangan saya sendiri, seandainya, tidak ada embel-embel "Berwajah Puisi" di sampul bukunya, itu tidak apa-apa. Karena sama saja dengan menulis Ayat Kursi, atau Surat Yasiin dengan berbagai gaya kaligrafi. Toh yang dijadikan panutan adalah Mushaf Utsmani, yang menjadi standar penulisan Al Qur'an di Indonesia. Mungkin, ada sisi lain, kebaikan yang ingin dicapai oleh H. B. Jassin,  Wallohu'alam.

Teruntuk H. B Jassin :
Allohumagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu.
Amin...

Senin, 20 November 2017

Resensi Buku : Buku Teater yang Menyentuh


Judul buku, Menyentuh Teater 
Tanya Jawab Seputar Teater Kita
Penulis, N Riantiarno
Penerbit, MU; 3 Books
Tahun terbit, 2003
Tebal halaman XXI - 153


Membaca bab pembukaan buku "Menyentuh Teater", begitu sangat menyentuh. Ada semacam kegelisahan yang dirasakan oleh N Riantiarno tentang perkembangan perteateran di Indonesia. Kegelisahan ini tentu bukan kegelisahannya saja. Boleh jadi dirasakan juga oleh para begawan teater di tanah air.

Bagaimana jika teater tidak menarik lagi untuk ditonton, apa yang harus dilakukan agar teater kembali memiliki  daya tariknya? Bagaimana jika teater benar-benar kehilangan daya tarik dan mulai kehilangan orang-orang yang berminat menggeluti dunia teater? Langkah-langkah apa yang kemudian mendesak untuk segera diupayakan?

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, N Riantiarno mengajak orang teater agar tekun dan terus menerus mengembangkan kewajibannya yakni, melahirkan impian atau gagasannya, mengoptimalisasi pengetahuan dan keahlian berteater, menggulirkan proses kreatif, menciptakan terjadinya tindakan teatral, dan menciptakan kebersamaan untuk saling berbagi.

Sedangkan untuk masyarakat, orang teater wajib mempromosikan, bahwa teater adalah kegiatan yang menarik, dan memang dibutuhkan. Teater harus didongengkan sebagai kisah yang asik dan menarik. Masyarakat perlu disadarkan bahwa teater adalah kegiatan yang menggembirakan, sekaligus ajang pelatihan  pembentukan kepribadian untuk memaknai perilaku disiplin, jujur, mampu bekerja sama, percaya diri yang bertanggung jawab tanpa pemaksaan.

Sebagai panduan bagi kegiatan pelatihan agar teater tetap hidup, N Riantiarno menguraikan sembilan unsur teater yang harus dipelajari, yaitu ; (1) sejarah teater, (2) penulisan naskah, (3) seni peran, (4) penataan artistik, (5) musik, suara, dan irama, (6) manajemen panggung, (7) manajemen produksi, (8) penyutradaraan, dan (9) pendalaman untuk pementasan.

Kesembilan unsur tersebut diuraikan dengan  lugas, tidak bertele-tele. Bahasa yang digunakan sangat sederhana, dan mudah dicerna. Dengan metode tanya jawab, pembaca seolah-olah sedang diajak sharing untuk memahami teater, jauh dari kesan menggurui. Buku ini cocok diterapkan oleh para pekerja teater pemula, teater-teater sekolah, atau teater-teater kampus.

Sayang sekali buku ini tidak diperjualbelikan. Buku ini terbit untuk kegiatan workshop KARYA KITA, TEATER KITA yang diselenggarakan oleh Program Bimbingan Anak Sampoerna bekerja sama dengan Yayasan Komadjid.

Mengingat kurangnya buku panduan  teater, dan pentingnya buku "Menyentuh Teater" untuk kalangan pemula dan teater pelajar,  diharapkan buku ini dapat diterbitkan ulang. Sebagaimana yang ditulis oleh Putu Wijaya sebagai pengantar buku ini, "Buku ini menjadi perangsang untuk menyadari bahwa teater tidak hanya dipraktikkan apa adanya secara alami, tetapi harus dibelajarkan."
Sementara Radhar Panca Dahana mengomentari, "Membaca buku ini, kita seperti mendapat contoh bagaimana hidup dan profesi mesti dilakoni dengan ketekunan dan disiplin yang tiada putus.'


oleh : Abdul Azis




Senin, 13 November 2017

Kalisat, Mencintai Tanah Leluhur

Dimanakah letak Kalisat? Apakah Kalisat dapat ditemukan oleh google map?
Jawabnya, tentu saja. Kalisat adalah sebuah kota kecil. Kota kecamatan yang terletak di utara Kabupaten Jember. Jaraknya kurang lebih 15 km dari pusat kota (alun-alun Jember). Kira-kira 20 atau 30 menit apabila naik kendaraan bermotor.

Penduduknya didominasi oleh etnis Madura. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Madura. Bahkan di sekolah-sekolah, dari SD s.d. SMA, bahasa daerah yang dipelajari adalah Bahasa Madura.

Pada umumnya, penduduk Kalisat adalah bertani. Hasil pertanian yang menjadi primadona adalah tembakau. Meskipun musim tembakau itu hanya tiga atau empat bulan (musim kemarau), tetapi masyarakat sangat menikmatinya. Di mana-mana; di warung, di pasar, di masjid, bahkan di kantor selalu terlihat beberapa orang begitu asyiknya diskusi tentang tembakau. "Kalau musim tembakau tiba, Kalisat terasa lebih hidup," kata salah seorang kiai di daerah itu.

Rupanya setiap keluarga di Kalisat banyak yang mempunyai hubungan darah dengan masyarakat di Pulau Madura. Memang, penduduk asli Kalisat berasal dari orang-orang Madura yang merantau dan menempati Jember wilayah utara.

Kecintaan mereka pada tanah leluhur, tidak perlu diragukan. Meskipun mereka dilahirkan, dibesarkan dan beranak pinak di Kalisat mereka tetap sangat menyanjung adat istiadat yang berlaku di Madura. Setiap perayaan umum, seperti perayaan 17 Agustus, Maulid Nabi, dan hari-hari besar lainnya mereka selalu menampilkan kesenian patrol dengan kostum Sakera, sorjan hitam, celana pesan, kaos bergaris merah putih, dan udeng khas Madura. Itu kesenian Madura, kata mereka. Religius dan ramah.

oleh : Abdul Azis 

Minggu, 12 November 2017

Cikar Transportasi Tempo Doeloe

Apakah cikar itu? 
Cikar adalah kendaraan pengangkut barang tempo dulu. Alat transportasi darat ini biasanya digunakan untuk mengangkut hasil panen, boyongan (pindah rumah), dan material bangunan seperti, bata, pasir, kapur dan batu.

Cikar adalah gerobak kayu beroda dua, yang ditarik dua ekor sapi. Dulu, waktu mobil masih langka, roda cikar terbuat dari kayu berlapiskan baja. Setelah mobil berseliweran di sana-sini, roba tersebut mulai diganti dengan ban mobil. Penggantian ini memang lebih banyak manfaatnya. Di samping beban bawaan terasa menjadi lebih ringan, waktu yang dibutuhkan pun menjadi lebih cepat.

Seiring dengan perkembangan jaman, cikar pun tergantikan oleh truk dan pick up. Lagi pula sekarang,  untuk memperoleh kendaraan bermotor cukup mudah. Cukup dengan uang lima juta untuk uang muka, kita sudah bisa mendapatkan mobil,
Mungkin, karena kondisi jalan semakin baik, untuk wilayah jawa sudah sangat sulit menemukan cikar. Foto yang saya peroleh ini, diambil anak saya ketika bekerja di perkebunan kelapa sawit, di Morowali Sulawesi Tengah. Cikar masih digunakan untuk mengangkut hasil panen kelapa sawit. Cikar digunakan, terutama pada musim penghujan. Di Morowali, cikar namanya 'roda', katanya. Kalau di Jawa Barat namanya Gorobag, tapi ditarik satu kuda.

oleh : Abdul Azis